SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA



Sejarah perekonomian Indonesia dapat dibagi menjadi 4 periode yakni:
1.    Pemerintahan Orde Lama(1950 – 1996)
2.    Pemerintahan Orde Baru (1966 – Mei 1998)
3.    Pemerintahan Transisi(Mei 1998 – November 1999)
4.    Pemerintahan Reformasi hingga Kabinet SBY(2000 – sekarang)

Pemerintahan Orde Lama
1950–1965 Indonesia dilanda gejolak politik dalam negeri dan pembrontakan di sejumlah daerah seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hamper 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris staflasi selama tahun 1965–1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestic Bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%. Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958 defisit saldo neraca pembayaran (BoP) dan defisit APBN terus membesar dari tahun ke tahun. Misalnya, APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan pemerintah rata-rata per tahun selama periode 1955–1965 sekitar 151juta rupiah, sedangkan besarnya pengeluaran pemerintah ratarata per tahun selama periode yang sama mencapai 359juta rupiah, atau 100% lebih besar dari rata-rata pendapatannya. Jika pada tahun 1955 defisitnya baru 2juta rupiah, pada tahun 1965 sudah mencapai lebih dari 1Milliar rupiah (Berarti suatu kenaikan yang sangat signifikan selama jangka waktu tersebut). Jika pada tahun 1955 defisit anggaran baru sekitar 14% dari jumlah pendapatan pemerintah, pada tahun1965 defisitnya sudah hampir 200% dari besarnya pendapatan pada tahun yang sama.

Kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik, seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi supplay dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang periode orde lama.

Pada masa pemerintahan Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhan membiayai dua peperangan, yakni merebut Irian Barat dan pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri. Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan orde lama terutama diebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik maupun nonfisik, selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang rovolusi, serta gejolah politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah) ditambah lagi dengan manajemen ekonomi yang sangat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan social dalam negeri seperti ini, sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.

Pada akhir September 1965 ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (walaupun tidak dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya).

Pemerintahan Orde Baru
Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Pada era orde baru perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintah orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank  Dunia dan IMF. Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik, serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami stagnasi pada masa orde lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembanguan lima tahun (repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara Barat. Akhir tahun 1960 atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB dibentuk suatu kekompok konsorsium yang desebut dengan Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) dengan tujuan membiayai ekonomi di Indonesia untuk tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru. Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbang nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di Pulau Jawa kerena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relative lebih baik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di luar Pulau Jawa. Tujuan utama pada pelaksanaan repelita I, adalah membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan Bahan pokok (beras). Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan di sektor Pertanian. Dengan dimulainya program penghijauan tersebut sektor pertanian nasional memasuki era moderenisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam. Pada bula April 1969 repelita I dimulai dan dampaknya dapat dirasakan hingga repelita-repelita berikutnya selama orde baru, hal ini membuat perekonomian Indonesia cukup mengagumkan terutama dilihat dari tingkat makro. Proses pembanguna sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata yang cukup tinggi, jauh lebih baik dibandingkan selama orde lama, dan juga relative lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok NSB. Pada awal repelita I PDB Indonesia tercatat 2,7Trilliun rupiah pada harga berlaku atau 4,8Trilliun rupiah pada harga konstan, dan pada tahun 1990 menjadi 188,5Trilliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4Tririliun rupiah pada harga konstan. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada zaman Soeharto disebabkan:

  • Kemampuan kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang jauh lebih baik dan solid dibandingkan pada masa orde lama dalam menyusun rencana, strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi.

  •  Penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak.

  •  Peranannya di dalam pembangunan ekonomi Indonesia meningkat tajam.

  • Kebijakan Soeharto yang mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada sistem ekonomi liberal dan stabilitas politik yang pro Barat, telah membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek pembangunan ekonomi Indonesia  yang jauh lebih kuat.

Pemerintah orde baru berhasil dengan baik menekan inflasi dari sekitar 500% pada tahun 1966 menjadi hanya sekitar 5% hingga pada awal tahun 1970-an. Pemerintah orde baru juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok-kelompok masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat. Dan dengan SDM yang semakin baik pemerintah orde baru memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.

Pemerintahan Transisi
Akibat terjadinya krisis keuangan di Asia, Rupiah Indonesia mulai terkena dampaknya. Dan sempat menembus sampai 11.000 rupiah pe dolar AS.  Krisis rupiah tersebut menjelma menjadi suatu krisis ekonomi yang sangat luar biasa, dan menyebabkan munculnya suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politk tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang perna dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar. Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa/siswi dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut di satu pihak dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya Dr. Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru.

Awal dari terbentuknya pemerintahan trasisi. Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim orde baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata.  Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akibatnya, banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi.

Pemerintahan Reformasi Hingga Kabinet
Tanggal 20 Oktober 1999 diselenggarakan pemilihan presiden pertama setelah masa Transisi. KH Abdulrrachman Wahid atau dikenal dengan sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir daripada pemerintahan Transisi dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi. Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh presiden Gus Dur, masyarakat umum dan investor termasuk investor asing menaruh harapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), supermasi hukum, hak azasi manusia (HAM). Dalam hal ekonomi dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak terlalu besar, tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir 5%, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil. Ketenagan masyarakat setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapanan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung Diktator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan Gus Dur tidak berbeda dengan rezim orde baru) Sikap GusDur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada Gus Dur lewat memorandum I dan II untuk diturunkan dari Jabatannya. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip “Once and for all”. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp.7000 dan pada tanggal 7 Maret 2001 menembus Rp.10.000 per dolar AS. Keadaan ini dicatat hari bersejarah sebagai awal kejatuhan GUS DUR. 7. Pada tanggal 12 Maret 2001 ketika istana presiden dikepung para demonstran yang menuntuk presiden Gus Dus mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001 kurs rupiah telah menyentuk Rp.12.000 per dolar AS. 8. Angka inflasi diprediksi mencapai dua digit. 9. Cadangan devisa pada minggu akhir Maret 2000 menurun dari 29Miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.

Setelah presiden Gus Dur turun, Megawati menjadi presiden yang kelima diangkat melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, keadaan perekonomian jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Buruknya perekonomian pada masa pemerintahan Megawati adalah karena warisan dari pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Megawati dengan Kabinet Gotong Royong menunjukkan keadaan ekonomi seperti:

  • IHSG dan Nilai Tukar rupiah meningkat cukup significan, walupun posisinya belum kembali ke tingkat pada saat Gus Gudur terpilih menjadi presiden.

  • Suku Bunga SBI mencapai 17%, padahal awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 13%. Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbangkan juga ikut naik menjadi sekitar 18% .
  • Inflasi mencapai 7,7%, pada masa awal pemerintahan Gus Dur sekitar 2%, bahkan laju inflasi tahunan year on year selama periode 2000 – Juli 2001 sudah mencapai 13,5%. Dalam APBN 2001 inflasi ditargetkan hanya 9,4%.

  • Pertumbuhan PDB pada tahun 2002 (table 5) tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% tahun sebelumnya kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%.
  • PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS tahun 2004.

  • Pendapatan perkapita meningkat dengan persentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar selama periode Megawati.
  • Kinerja ekspor membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001 dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004.

  • Neraca perdagangan (NP) saldo ekspor (X) – impor (M) barang maupun transaksi berjalan (TB) sebagai persentase dari PDB mengalami penurunan.

Pada awal pemerintahan SBY  rakyat Indonesia,  pelaku usaha luar dan dalam negeri, maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia(IMF, Bank Dunia, dan ADB) sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar di atas 6%. Namun pertengahan tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yakni naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut (5,7) Kenaikan BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Inoensia. Indonesia tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973, kedua tahun 80-a. Indonesia tidak saja menjadi net oil importer, tetapi sudah menjadi pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005). Akibat harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN), akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang tidak populis, yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan harga BBM sejak 1 Juli 2005, harga solar untuk industri dari Rp.2.200 per liter menjadi Rp.4.750 per liter (naik 115%). Tanggal 1 Agustus 2005 kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp.2.200 per liter menjadi Rp.5.490 per liter (naik 93%). Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah menaikkan lagi harga BBM yang berkisar antara 50% hingga 80%. Kenaikan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar terhadap impor BBM. Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar deficit APBN karena pendapatan pajak berkurang. Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh negative terhadap kesempatan kerja atau akan meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Kenaikan peganggruan atau kemiskinan juga akan menambah defisit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara, disisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yakni permintaan di dalam negeri berkurang. Menjelang akhir masa jabatan SBY tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yakni harga BBM yang terus naik dan kenaikan harga pangan di pasar global. Kenaikan harga BBM yang terusmenerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikkan BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi. Secara kumulatif inflasi ada periode Januari – Februari 2008 sudah mencapai 2,44% yang merupakan angka tertinggi sejak tahun 2003. Dengan inflasi year on year yang mencapai 7,4%, maka ancaman inflasi yang lebih tinggi selama tahun 2008 bukanlah suatu hal yang mustahil.


Referensi : http://www.slideshare.net/xNet8/bab-2-sejarah-ekonomi-indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKUNTANSI KOMPARATIF

Standar Audit dan Akuntansi Global

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI