T3CGK Desain Modern Dengan Corak Seni–Budaya INDONESIA


Siapa yang tidak tahu dengan berita tentang pengembangan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Sebagai bandara terpadat dan tersibuk di Indonesia yang menghubungkan pengguna jasa penerbangan baik domestik dan internasional, PT. Angkasa Pura II menyiapkan Terminal 3 untuk melayani para pengunjung/pengguna jasa bandara dengan berbagai fasilitas yang terbaru dan terbaik. Hal ini adalah upaya untuk memenuhi tuntutan dari bisnis jasa bandara yang semakin kompetitif, yang terus meningkat setiap tahunnya.

Perkembangan dan persaingan bandara masa kini tidak cukup hanya melayanani dengan kelengkapan teknis saja, namun juga perlu menawarkan berbagai kelengkapan non-teknis yang dapat memberikan pengalaman yang kaya dan mengesankan bagi para pengunjung bandara. Untuk mencapai pelayanan semacam itu, maka Terminal 3 akan dilengkapi dengan sejumlah karya seni rupa hasil karya para seniman Indonesia yang telah memiliki rekam jejak terkenal dalam perkembangan seni rupa di Tanah Air dan di pentas seni rupa internasional.

Kehadiran karya seni rupa di lingkungan bandara Terminal 3 membuat tampilan bandara menjadi lebih elegan dan glamour. Selain itu keberadaan karya seni rupa juga dapat menunjukkan bagaimana sesungguhnya daya kreatif suatu bangsa dan tingkat apresiasi masyarakatnya terhadap seni-budaya. Karena itu kehadiran karya seni rupa di bandara dapat menjadi penanda yang kuat mengenai identitas dan karakter kota/negara tempat bandara itu berada, yang kemudian dapat menarik perhatian para pelancong untuk mengetahui lebih banyak dan lebih jauh mengenai suatu tempat, masyarakat dan kebudayaannya.

Berbekal pemikiran di atas, maka PT. Angkasa Pura II saat ini telah mengajak sejumlah seniman/perupa Indonesia untuk bekerjasama menghadirkan karya-karya mereka di sejumlah lokasi strategis baik di dalam maupun di luar ruang Terminal 3. Para seniman itu antara lain adalah: Eko Nugroho, Angki Purbandono, Tromarama, Edi Prabandono, Nus Salomo, Pintor Sirait, Ichwan Noor, Awan Simatupang, Galam Zulkifli, Nasirun, Indiegurillas dan seniman senior Sardono W. Kusumo. Dan di masa mendatang, akan lebih banyak nama dan karya seniman Indonesia yang dapat hadir di Terminal 3 melalui serangkaian acara pameran yang menampilkan karya cipta insan kreatif Indonesia.

Ringkasan Karya Seni dari Para Seniman/Perupa

Angki Purbandono, lahir di Semarang1971. Ia mempelajari fotografi di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia adalah pendiri ruang seni alternative Ruang MES 56 di Yogyakarta yang memusatkan perhatian dan kegiatannya pada bidang seni fotografi kontemporer. Ia dan karya-karyanya kerap tampil di berbagai acara seni rupa terkemuka, di Indonesia dan mancanegara.
Atas Nama Daun, 2015-2016
Scanography, digital print, backlit, bahan Print on
Flexi, LED, Galvanized sheet plate. — 2900 cm x 650 cm.
Lokasi Karya: Area Pengambilan Bagasi (Baggage Claim Area)

Eddi Prabandono, lahir di Pati, Jawa Tengah, 1964. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Kini tinggal dan bekerja antara Yogyakarta dan Okinawa, Jepang. Karya-karya instalasi dan patung kontemporernya menunjukkan proses perencanaan gagasan-gagasannya secara tepat.
Traveller, (Sketsa awal), 2015-16
casted alluminium, polyurethane paint — 150 cm x 500 cm.
Lokasi: Area Keberangkatan (Departure Area - International).

Eko Nugroho, tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia memulai karirnya sebagai seniman di masa-masa reformasi, yang juga masa maraknya berbagai eksperimen dalam seni rupa kontemporer Indonesia, dalam suasana kebebasan berekspresi yang terbawa bersama demokrasi.


Nus Salomo, sempat menjalani pendidikan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Minatnya pada seni rupa membawanya ke pendidikan seni rupa di Amerika Serikat, di Art Center College of Design, Pasadena, CA – Product & Entertainment Design. Dengan bekal pendidikan itu dan juga pengalaman kerja di AS, Nus Salomo terbiasa memecahkan persoalan ruang, konstruksi dan bahan dalam karya-karyanya. Minatnya pada dunia fantasi ilmiah yang serba futuristik memberi pengaruh pada karya-karyanya selama ini.
The Aviator, 2015-16
Fiberglass, Alluminium, Alluminium Plate, Semi translucent resin — 750 cm x 2400 cm.
Lokasi Karya: Area Pengambilan Bagasi (Baggage Claim Area).

Tromarama, adalah nama kelompok perupa yang berdiri pada tahun 2006, di Bandung, beranggotakan: Febie Babyrose (1985), Herbert Hans (1984) dan Ruddy Hatumena (1984). Mereka menempuh pendidikan seni di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Karya-karya mereka memadukan berbagai unsur media: video, fotografi, gambar, cahaya dan lain-lain—baik sebagai unsur yang berdiri sendiri maupun menjadi bagian dari suatu instalasi. Mereka pernah berpameran tunggal di Mori Art Museum (Tokyo, 2010), Tembi Contemporary (Yogyakarta, 2011), Ark Galerie (Jakarta, 2013), National Gallery of Victoria (Melbourne, 2015) dan Stedelijk Museum Amsterdam (2015).

Pintor Sirait, menempuh pendidikan di Liberal Arts, University of Nevada-Reno (UNR), Nevada, dan The San Francisco Art Institute, Amerika Serikat. Selain belajar, ia juga membina karier professional di AS, dan kemudian di Perancis. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang kaya, ia kembali ke Indonesia. Karya-karyanya yang berbahan besi baja selalu tampil dengan citarasa serba modern. Berbagai bagian rinci dalam karyanya jelas menunjukkan kepiawaian seniman ini dalam menangani dan mengolah bahan baja dengan berbagai cara. Dalam karyanya bahan yang keras dan kuat ini justeru dapat hadir sebagai patung/instalasi yang terkesan serba plastis.
Pintor Sirait, (Model) 2015-2016
Stainless Steel, (partially painted and etched).

Ichwan Noor, Lahir di Jakarta di tahun 1963. Ia menempuhpendidikan tinggi seni rupa di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.Berbekal pengetahuan dan pengalaman kerjanya selama ini, Ichwandikenal sebagai salah seorang seniman yang sangat paham selukbeluk teknis pengerjaan patung dalam berbagai bahan. Tidak heran bahwa selama ini banyak rekan seniman lain yang juga membuat karya patung di studio/bengkel yang dikelola Ichwan di Yogyakarta.
Ichwan Noor, Seulawah Batik, 2015-2016
stainless steel

Awan Simatupang, Lahir di Jakarta, tahun1967. Awan Simatupang menempuh pendidikan seni rupa di Studio Patung, Institut Kesenian Jakarta (lulusan 1991). Graduated from the Sculpture Studio Jakarta Art Institute in 1991. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Awan Simatupang mulai sibuk berkarier sambil menambah wawasan melalui berbagai kegiatan lokakarya dan pameran, baik di dalam maupun luar negeri.
Awan Simatupang,
Untitled, (Model) 2015-2016
Stainless steel, aluminium.


Nasirun, Lahir di Cilacap, 1965. Nasirun menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, lulus pada tahun 1994. Sejak awal kariernya sebagai seniman, Nasirun dikenal sebagai seniman yang sangat rajin berkarya baik berupa lukisan, patung dan instalasi. Dalam karya-karyanya yang penuh warna dan riuh dengan berbagai bentuk, ia menghadirkan berbagai tafsiran baru atas berbagai unsur tradisi Jawa dan Islam, baik yang berkenaan dengan perkara ritual, spiritualitas-keagamaan, wayang. Karyanya banyak berisi berbagai rujukan bentuk dan ornamentasi pada seni rupa tradisional Jawa.
Nasirun, (work in progress), 2016, 5 panels, Oil on canvas,


Galam Zulkifli, Lahir di Sumbawa, 1971. Ia pernah menempuh pendidikan seni rupa di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta (1991). Tidak sempat selesai, Galam memutuskan untuk meneruskan pendidikannya secara otodidak. Dengan cara itu, ia mulai sibuk mengikuti berbagai pameran seni rupa.

INDIEGUERILLAS, Ini adalah nama dari “duo” perupa, pasangan Dyatmiko Lancur Bawono (lahir 1975) and Santi Ariestyowanti (lahir, 1977). Mereka mengibarkan nama Indieguerillas sejak tahun 1999 dan banyak mengerjakan karya rancangan grafis. Menurut mereka, nama Indieguerillas adalah rumusan misi mereka yang “ingin terus bergerilya mencarai berbagai kemungkinan baru dalam berkarya”.



Prof. Sardono W. Kusumo (Sutradara, Koreografer, Penata Tari, Perupa) Berbekal pengetahuan dan keterampilannya di bidang silat dan tari tradisional Jawa, Sardono kemudian dikenal sebagai pembaharu atas tradisi tari di Indonesia. Dengan berbagai eksperimen karya tari dan tata pertunjukan yang ia kerjakan di masa awal kariernya beberapa diantaranya: Meta-Ekologi (1979), Hutan Plastik (1983), Hutan Merintih (1987) Sardono kini dikenal sebagai salah satu empu seni tari/pertunjukan kontemporer Asia. Sejak awal kariernya, ia telah mendapat perhatian dan penghargaan dari kalangan seni pertunjukan internasional.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKUNTANSI KOMPARATIF

Standar Audit dan Akuntansi Global